
Secara struktur, Sigit bertindak sebagai pelindung, sedangkan Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo duduk sebagai penasihat. Jabatan ketua tim dipercayakan kepada Komjen Chryshnanda Dwilaksana (Kalemdiklat Polri), dengan wakilnya Irjen Herry Rudolf Nahak (Koorsahli Kapolri) serta Brigjen Susilo Teguh Raharjo (Karobindiklat Lemdiklat Polri) sebagai sekretaris.
Namun di balik pembentukan tim ini, publik justru menyimpan pertanyaan besar: apakah reformasi Polri kali ini sungguh-sungguh dijalankan atau sekadar formalitas di atas kertas?
Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko dari Divisi Humas Polri menegaskan bahwa tim ini adalah bagian dari akuntabilitas institusi. Ia menyebut agenda reformasi Polri diarahkan pada Grand Strategy Polri 2025–2045. Akan tetapi, pernyataan normatif seperti ini sudah terlalu sering terdengar—sementara praktik di lapangan masih jauh dari harapan.
Isu pembentukan tim reformasi makin menguat setelah Presiden Prabowo Subianto secara terbuka menyoroti perlunya evaluasi total di tubuh kepolisian. Bahkan Presiden menunjuk Komjen (Purn) Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden bidang Reformasi Kepolisian, sekaligus menyiapkan Komite Reformasi Kepolisian yang kini tengah dirancang.
Langkah ini jelas menjadi tekanan langsung dari Presiden agar Polri tidak hanya berhenti pada jargon, melainkan benar-benar berani membersihkan diri dari praktik penyalahgunaan kewenangan, budaya impunitas, dan gaya hidup hedon aparat yang selama ini memicu ketidakpercayaan publik.
Ketua Fast Respon Indonesia Center (FRIC) DPW Jambi, Dodi Chandra, mengingatkan:
“Semua pihak sangat mencintai institusi Kepolisian, tapi cinta itu harus dibalas dengan keberanian melakukan perubahan nyata. FRIC tetap loyal, tapi kami ingin melihat Polri benar-benar jadi pengayom, bukan sekadar slogan.”
Kini bola panas ada di tangan Kapolri. Apakah Tim Reformasi Polri akan menjadi mesin perubahan nyata atau sekadar simbol politik belaka? Publik menunggu, dan sejarah yang akan mencatat. (Fahmi Hendri)
Redaksi: BahriNews.id
