Dorong Rehabilitasi, MA Soroti Dominasi Saksi Penangkap di Kasus Narkotika

Zulkarnaen_idrus
0


Jakarta – Bahrinews.id | Mahkamah Agung menyoroti praktik persidangan perkara penyalahgunaan narkotika yang masih bergantung pada keterangan saksi penangkap. Praktik tersebut dinilai tidak selaras dengan semangat Undang-Undang Narkotika yang menekankan rehabilitasi, bukan sekadar penghukuman.


Sidang terbaru di Pengadilan Negeri Pulau Punjung menjadi contoh penting. Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Dedy Agung Prasetyo, S.H., bersama dua anggota majelis, Tedy Rinaldy Santoso, S.H., dan Iqbal Lazuardi, S.H., dua terdakwa dijatuhi vonis atas penyalahgunaan narkotika.


Namun di balik putusan tersebut, muncul sorotan terhadap praktik pembuktian yang belum berpihak pada pendekatan rehabilitatif.


Hanya Saksi Polisi, Di Mana Suara Keluarga?

Dalam praktiknya, mayoritas kasus narkotika masih hanya menghadirkan polisi penangkap sebagai saksi. Padahal, saksi ini hanya mengetahui kronologi teknis penangkapan, bukan latar belakang psikologis, sosial, atau kondisi terdakwa.


“Bagaimana hakim bisa putuskan apakah terdakwa layak direhabilitasi kalau tidak tahu faktor sosial dan dukungan yang ia punya?” ujar Muamar Azmar Mahmud Farig, pemerhati hukum pidana.


Padahal, menurut Pasal 54 UU Narkotika, pengguna narkotika seharusnya mendapatkan rehabilitasi medis atau sosial. Fakta bahwa kesaksian orang terdekat—keluarga, sahabat, atau rekan kerja—jarang dihadirkan, mempersempit ruang informasi bagi hakim.


Mengubah Cara Pandang: Dari Hukuman ke Pemulihan

Ahli hukum pidana Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya menegaskan, sistem pemidanaan modern tidak semata menghukum, tetapi mendorong rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Hal ini sejalan dengan teori kriminologi Edwin Sutherland yang menyebut bahwa perilaku kriminal terbentuk melalui lingkungan sosial terdekat.


Itulah sebabnya, testimoni dari orang dekat bisa membantu memberi gambaran lebih utuh tentang karakter terdakwa—baik perubahan perilaku, beban hidup, maupun dukungan keluarga yang tersedia jika rehabilitasi diberikan.


Ada Aturan, Tapi Jarang Dimanfaatkan

Secara hukum, Pasal 169 ayat (1) KUHAP sebenarnya memungkinkan anggota keluarga memberi kesaksian di persidangan jika semua pihak sepakat. Namun dalam praktik, jaksa jarang memanggil saksi dari lingkungan terdakwa karena khawatir melemahkan dakwaan atau menghadapi penolakan dari pihak keluarga.


Di sinilah perlunya edukasi. Tujuan menghadirkan orang terdekat bukan untuk meringankan hukuman secara membabi buta, melainkan memberi hakim informasi komprehensif agar dapat menjatuhkan sanksi yang lebih tepat.


Rekomendasi: Hakim Harus Lebih Aktif

Hakim memiliki wewenang besar untuk mendorong hadirnya saksi tambahan. Berdasarkan Pasal 180 ayat (1) KUHAP, hakim dapat meminta bahan baru untuk memperjelas perkara. Ini bisa digunakan untuk mendorong kehadiran saksi dari kalangan terdekat terdakwa.


Dengan begitu, pembuktian tidak hanya memenuhi syarat formal, tetapi juga mencerminkan pendekatan hukum yang lebih manusiawi dan responsif terhadap kompleksitas penyalahgunaan narkotika.


Penutup

Diversifikasi saksi dalam perkara narkotika bukan soal formalitas, tapi soal keadilan. Sudah saatnya suara keluarga, sahabat, dan lingkungan sosial terdengar di ruang sidang. Bukan untuk membela buta, tapi untuk memberi gambaran utuh demi keadilan yang sesungguhnya.

Penulis: Muamar Azmar Mahmud Farig
Editor: Tim Redaksi Bahrinews.id



Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Hubungi Kami
Ok, Go it!