Menakar Kewenangan Penggugat: Siapa yang Berhak Digugat?

Zulkarnaen_idrus
0


JAKARTABahriNews.id | Dalam sistem hukum perdata Indonesia, terdapat asas penting yang menegaskan bahwa penggugat memiliki hak penuh untuk menentukan siapa pihak yang akan digugatnya. Asas ini bersumber dari prinsip bahwa inisiatif sebuah perkara perdata datang dari pihak yang merasa haknya dilanggar.


Mahkamah Agung sebagai judex juris telah mengukuhkan prinsip ini dalam Putusan No. 305K/Sip/1971 tanggal 16 Juni 1971, yang menyatakan:

“Pengadilan Tinggi tidak berwenang secara jabatan tanpa pemeriksaan ulangan menempatkan seorang yang tidak digugat sebagai salah seorang tergugat, karena tindakan tersebut bertentangan dengan asas acara perdata yang memberikan wewenang tersebut kepada penggugat.”


Putusan ini secara jelas membatasi kewenangan pengadilan tingkat banding untuk tidak menambah pihak dalam perkara tanpa dasar dari penggugat. Penambahan tergugat oleh pengadilan bukan hanya cacat prosedur, tapi juga melanggar hak asasi formal pihak yang bersengketa.


Tidak berhenti di situ, Putusan MA No. 457K/Sip/1975 tanggal 18 November 1975 juga menegaskan bahwa:

“Tidak dapat dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk menarik pihak ketiga sebagai ‘Turut Tergugat’.”


Dengan dua yurisprudensi tersebut, semakin jelas bahwa kewenangan formal dalam menentukan pihak tergugat hanya berada di tangan penggugat.


Namun, Apakah Kewenangan Ini Mutlak?


Faktanya, tidak semua orang dapat digugat begitu saja. Meskipun penggugat diberikan keleluasaan dalam menentukan pihak tergugat, tetap ada syarat formil yang mengikat, yakni:

  1. Adanya hubungan hukum antara penggugat dan pihak yang akan digugat. Hubungan ini bisa berdasarkan perjanjian (kontraktual) ataupun karena adanya perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang dilakukan tergugat.
  2. Kesesuaian dengan objek gugatan. Artinya, pihak yang digugat harus berkaitan langsung dengan pokok perkara yang disengketakan. Jika tidak, gugatan bisa dianggap keliru pihak (error in persona) atau kurang pihak (plurium litis consortium).


Gugatan yang tidak memenuhi dua unsur ini sangat berisiko dinyatakan cacat formil dan tidak dapat diterima oleh majelis hakim.


Asas yang Melindungi, Bukan Membatasi

Kebebasan menentukan pihak tergugat bukanlah bentuk absolutisme hukum, melainkan merupakan bentuk perlindungan terhadap integritas proses perdata. Hakim tidak berwenang memaksakan pihak dalam gugatan tanpa landasan hukum yang kuat.


Dengan demikian, setiap penggugat wajib melakukan kajian yang matang sebelum mendaftarkan gugatan. Sebab kesalahan dalam menarik pihak bisa berujung pada pembatalan gugatan dan kerugian waktu serta biaya.


Penutup

Yurisprudensi Mahkamah Agung terkait kewenangan penggugat ini bukan hanya sebatas rambu formalitas, tetapi juga bagian dari kerangka keadilan prosedural. Jika asas ini diabaikan, maka sengketa tidak hanya menjadi panjang, tetapi juga kehilangan arah kepastian hukumnya. (SB)


📌 BahriNews.id – Kritis, Tajam, dan Berimbang
Untuk opini hukum dan kontribusi naskah, hubungi redaksi@bahrinews.id
Baca terus rubrik “Bahri Hukum” hanya di www.bahrinews.id

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Hubungi Kami
Ok, Go it!