Mengenang Waktu, Saat Pejuang Dihargai Hanya Ketika Dibutuhkan

𝑨𝒎𝒔𝒂𝒓
0

BahriNews.id - Banten, 21 April 2025 — Hari Kartini, yang setiap tahunnya diperingati dengan semarak oleh berbagai lapisan masyarakat, selalu menjadi momentum untuk mengenang perjuangan emansipasi, keberanian, dan pengabdian seorang perempuan yang melampaui zamannya. Namun di balik gaung perayaan itu, ada pertanyaan yang patut kita renungkan bersama: sudahkah kita benar-benar belajar dari semangat Kartini? Atau, kita justru terjebak dalam sikap pragmatis yang hanya menghargai seseorang saat ia bermanfaat?


Di tengah perayaan ini, terselip cerita-cerita yang tidak pernah masuk ke panggung utama. Cerita tentang mereka yang pernah berjasa, yang dahulu dirangkul, namun kini dilupakan. Mereka bukan pahlawan yang dicetak di buku sejarah, bukan pula nama yang tertulis di prasasti. Tapi mereka adalah pejuang kehidupan. Yang bekerja dalam diam. Yang memberi tanpa banyak diminta. Yang mengabdi tanpa menuntut imbalan. Namun, ketika usia atau keadaan membuat mereka tak lagi "berguna", perlahan, mereka menghilang dari ingatan kita.


Nelayan Tua dan Sunyi yang Menghantui


Ambil contoh seorang nelayan tua di pesisir utara kota ini. Selama lebih dari tiga dekade, ia mengarungi laut sejak fajar menyingsing hingga malam menutup hari. Hasil tangkapannya memenuhi meja makan banyak keluarga, menyokong roda ekonomi lokal, dan membesarkan anak-anaknya hingga berhasil. Dahulu, ia dikenal dan dihormati, bahkan sering dijadikan narasumber dalam berbagai acara kampung. Namun kini, di usia senja, ketika tubuhnya tak lagi sanggup menantang ombak, ia hanya duduk di beranda kayunya, menatap laut yang dulu begitu akrab, kini terasa jauh.


"Tak banyak yang datang menjenguk, tak ada yang bertanya kabar. Seolah waktu memupus semua yang pernah diberikan,"ungkapnya


Potret yang Sama di Dunia Kerja dan Politik


Fenomena serupa terjadi di dunia kerja. Betapa banyak karyawan yang loyal, berdedikasi, dan bekerja tanpa hitung-hitungan waktu. Mereka berkorban demi target perusahaan, bahkan rela melewatkan waktu bersama keluarga demi pekerjaan. Namun, ketika usia atau performa mereka menurun, atau digantikan oleh sistem otomatisasi dan tenaga muda, mereka dilupakan begitu saja. Tanpa penghargaan. Tanpa pengakuan. Hanya ucapan terima kasih yang basi—jika pun ada.


Dalam dunia politik, cerita ini bahkan lebih gamblang. Seorang loyalis partai, yang sejak muda mengawal proses demokrasi, turun ke lapangan, mengetuk pintu demi pintu demi suara, bisa dengan mudah dikesampingkan ketika pengaruhnya memudar. Janji-janji yang dulu begitu manis, kini tak lagi disebutkan. Ia, yang dulu dirangkul karena dibutuhkan, kini seolah tak pernah ada.


Sikap Pragmatis dan Kematangan Moral yang Dipertanyakan


Kita hidup di zaman yang cepat dan serba instan. Di tengah derasnya arus informasi dan tekanan hidup, banyak yang terjebak dalam pola pikir transaksional. Seseorang hanya bernilai selama ia bisa menghasilkan, menyumbang, atau membantu. Ketika tak lagi relevan, ia dianggap beban. Padahal, martabat manusia tak seharusnya ditakar dari produktivitas semata.


Ini adalah cermin dari kemunduran moral. Bahwa kita sebagai masyarakat belum benar-benar dewasa dalam menghargai sesama. Bahwa kita lebih sering memilih untuk melupakan daripada mengenang, lebih sering mengganti daripada merawat, lebih sering menilai dari hasil daripada melihat proses perjuangan seseorang.


Belajar dari Pahlawan Kartini: Tentang Martabat dan Keberanian Menghargai


R.A. Kartini berjuang bukan untuk dirinya sendiri. Ia memperjuangkan hak untuk didengar, untuk dihargai sebagai manusia yang utuh. Semangat Kartini adalah tentang keberanian untuk melihat yang tersembunyi, menyuarakan yang terpinggirkan, dan mengangkat martabat mereka yang dianggap kecil.


Jika kita benar-benar ingin memaknai Hari Kartini, maka semestinya kita membuka mata terhadap para Kartini dan pejuang kehidupan lainnya yang terlupakan. Mereka yang hidup di sekitar kita: para pensiunan guru yang dulu mengajar dengan cinta, para petani yang menggemburkan tanah setiap hari demi pangan kita, para pekerja honorer yang mengabdi tanpa jaminan, dan para relawan sosial yang bekerja tanpa pamrih.


Menjadikan Penghargaan sebagai Budaya, Bukan Seremonial


Sudah saatnya kita berhenti menjadikan penghargaan sebagai sekadar momen seremoni tahunan. Menghargai tidak harus menunggu Hari Pahlawan. Mengingat jasa tidak harus menunggu mereka tiada. Mari kita hidupkan kembali budaya gotong royong, hormat pada yang tua, dan peduli pada yang pernah berjuang.


Dalam kearifan lokal kita—yang sering kita banggakan—tertanam nilai-nilai luhur tentang menghormati jasa. Tentang membalas budi. Tentang tidak melupakan. Inilah saatnya untuk tidak hanya memamerkan budaya itu di panggung acara, tetapi menjadikannya laku hidup sehari-hari.


Penutup: Dari Hari Kartini Menuju Hari Kemanusiaan


Hari Kartini bukan sekadar hari perempuan. Ini adalah hari untuk membicarakan nilai-nilai keadilan, pengakuan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Mari kita manfaatkan momen ini untuk menengok ke belakang, bukan untuk larut dalam nostalgia, tetapi untuk menata masa depan yang lebih bermakna—di mana tidak ada lagi pejuang yang dilupakan, tidak ada lagi manusia yang dibuang setelah tak lagi dipakai.


Karena bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang mengenang pahlawan dalam buku, tetapi yang merawat ingatan, menghargai jasa, dan memberi tempat terhormat bagi semua yang pernah memberi.//Narasumber //Muzdalifah

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Hubungi Kami
Ok, Go it!