
BahriNews.id | Tapanuli Tengah — Penegakan hukum di Kabupaten Tapanuli Tengah kembali menjadi sorotan tajam. Kasus pencurian berondolan kelapa sawit seberat 30 kilogram dengan nilai kerugian hanya sekitar Rp90 ribu di PT TAS, Kecamatan Kolang, kini berubah menjadi drama hukum yang dinilai tidak masuk akal dan jauh dari nilai kemanusiaan.
Obed Mei Situmeang, Pengurus DPD KNPI Sumut Bidang Lingkungan Hidup, mengecam keras langkah penyidik Polres Tapanuli Tengah yang menahan pelaku pencurian tersebut. Menurutnya, tindakan itu bukan hanya tidak proporsional, tetapi juga menunjukkan hilangnya rasa keadilan yang seharusnya menjadi fondasi penegakan hukum.
“Ini tindakan yang tidak manusiawi. Kerugian sangat kecil, tapi seolah dipaksa menjadi kasus besar. Di mana hati nurani aparat penegak hukum?” tegas Obed.
Kerugian Rp90 Ribu, Tapi Diperlakukan Seperti Penjahat Besar
Obed mengungkapkan, dalam kasus dengan kerugian sangat kecil seperti ini, aparat seharusnya menerapkan mekanisme Tindak Pidana Ringan (Tipiring). Namun pelaku justru dijerat Pasal 363 KUHP (pencurian dengan pemberatan) yang ancamannya mencapai 7 tahun penjara.
“Penerapan pasal berat untuk kerugian kecil adalah bentuk ketidakadilan. Tidak proporsional dan tidak mencerminkan asas kemanusiaan,” ujarnya.

Rekomendasi Restorative Justice Diabaikan
Dalam banyak kasus serupa, Kejaksaan Agung sudah mendorong penerapan Restorative Justice (RJ) karena dinilai lebih manusiawi dan relevan untuk kasus pencurian kecil. Pendekatan RJ bahkan kerap mengarah pada penghentian penyidikan dan penyelesaian damai antara pelaku dan perusahaan.
Namun, menurut Obed, Polres Tapteng justru menunjukkan sikap keras tanpa pertimbangan kemanusiaan.
“Instruksi Restorative Justice itu ada, tapi apakah dipatuhi? Kenyataannya tidak,” kritiknya.
Praktisi Hukum: Penegakan Hukum Tidak Berimbang
Suara keberatan juga datang dari Agus Halawa, S.H., praktisi hukum yang selama ini menangani banyak kasus masyarakat kecil. Ia menilai Polres Tapteng telah menciptakan ketimpangan hukum yang nyata.
“Kasus kecil begini langsung ditahan. Tapi kalau korupsi miliaran, penanganannya lembek. Ini ironi dan bentuk ketidakadilan substantif,” kata Agus Halawa dengan nada keras.
Ia menegaskan, penahanan ini seharusnya menjadi alarm bagi institusi penegak hukum bahwa masyarakat kecil terlalu sering menjadi korban dari sistem yang kaku dan tidak berperasaan.
Seruan Keras Untuk JPU: Gunakan Hati Nurani!
Obed meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk tidak sekadar mengikuti prosedur hukum tanpa mempertimbangkan nilai kemanusiaan.
“Penegakan hukum ideal itu seimbang—tegas, tapi manusiawi. Jangan hukum masyarakat kecil seperti kriminal kelas kakap,” tegasnya.
Ia berharap kasus ini menjadi momentum evaluasi menyeluruh agar aparat tidak lagi memperlakukan masyarakat kecil sebagai pihak yang selalu kalah di hadapan hukum.
Reporter: Mhd. Zulfahri Tanjung
Editor: Zulkarnain Idrus
