JAMBI | Bahrinews.id – Tragedi kembali terjadi di tengah hutan Senami, Jambi. Sumur minyak ilegal meledak dan terbakar, menimbulkan kepanikan serta kerusakan parah di sekitar lokasi. Kebakaran ini bukan yang pertama, dan tampaknya tidak akan jadi yang terakhir jika aparat penegak hukum dan pemerintah terus bersikap setengah hati.
Meski bahaya eksplorasi minyak secara liar telah memakan korban jiwa dan merusak lingkungan, aktivitas illegal drilling terus berjalan tanpa hambatan berarti. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa wilayah Senami merupakan “ladang emas” bagi para cukong minyak ilegal yang menjalankan operasi mereka dengan jaringan yang rapi dan kuat.
Nama-nama seperti Sitanggang, Asiong, Bonar, Kiting, Irul, dan Dikun kembali disebut sebagai aktor utama di balik sumur-sumur ilegal ini. Anehnya, tidak satu pun dari mereka tersentuh proses hukum, seolah hukum hanya berlaku bagi rakyat kecil.
“Maling satu liter BBM langsung ditangkap, tapi cukong yang sedot minyak negara dalam jumlah besar dibiarkan bebas? Di mana keadilan hukum kita?”
— kritik tajam Fahmi Hendri, Direktur LBH PHASIVIC.
Hukum Hanya Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas?
Bukan tanpa usaha. Razia memang rutin dilakukan, baik oleh Polda Jambi maupun Polres Batanghari. Namun, yang kena hanya operator lapangan—sementara para pemain utama di balik layar lolos dengan mudah. Main kucing-kucingan dengan aparat seolah sudah jadi strategi biasa.
Menurut Fahmi, peristiwa ini adalah dampak dari pembiaran struktural, di mana aparat justru gagal menembus lingkaran kekuasaan para cukong minyak. Ia menyebut, jika pengelolaan dilakukan secara legal dan profesional, bencana seperti ini bisa dihindari.
“Ini bukan lagi soal kelalaian teknis, tapi persoalan sistemik yang melibatkan banyak pihak. Ketika penindakan setengah hati, maka ledakan seperti ini adalah harga yang harus dibayar,” tegasnya.
Undang-Undang Dilanggar, Tapi Penegakan Mandek
Hukum sebenarnya sudah sangat jelas:
-
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas:
Setiap usaha migas tanpa izin dapat dipidana 6 tahun penjara dan denda Rp60 miliar. -
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup:
Kegiatan ilegal yang mencemari lingkungan bisa dipidana hingga 10 tahun dan denda Rp10 miliar. -
KUHP Pasal 406 & 480:
Memberi fasilitas atau membeli hasil tambang ilegal termasuk dalam kategori pidana.
Namun apa artinya semua itu jika penegakan hukumnya lumpuh di hadapan uang dan kuasa?
Pertanyaan Besar untuk Aparat dan Pemerintah
Fahmi Hendri dengan tegas meminta agar aparat penegak hukum tak lagi bermain aman. Pendekatan sosial dan edukatif kepada masyarakat penting, namun penindakan terhadap para pelaku utama jauh lebih mendesak.
“Jika nama-nama tersebut terbukti, mengapa tidak segera ditangkap? Jangan biarkan simpang siur ini memicu kecurigaan bahwa ada unsur pembiaran, atau bahkan keterlibatan oknum tertentu,” pungkas Fahmi.
Bahrinews.id Menyoroti
Kebakaran ini bukan semata tragedi teknis, melainkan cermin kegagalan negara melindungi rakyat dan lingkungannya dari kerakusan cukong minyak. Jika hukum hanya berlaku untuk yang lemah, maka negeri ini sedang menuju jurang kehancuran moral dan hukum. (Hendri.F)
Bahrinews.id
“Tajam, Tegas, dan Berani Mengungkap Fakta”