BahriNews.id | Pemimpin yang lupa diri, rakyat yang terus menderita. Di negeri ini, kata-kata manis dan janji palsu menjadi menu harian, sementara rakyat menunggu keajaiban yang tak kunjung datang. Pemerintah bak panggung teater, mempertontonkan drama kekuasaan, sementara rakyat hanya menjadi penonton dengan tangan terikat.
Demonstrasi besar pada 13 Agustus 2025 di Pati menjadi bukti nyata keresahan tersebut. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen memicu amarah publik. Meski akhirnya dibatalkan, warga masih menyimpan sederet tuntutan yang belum dijawab pemerintah.
Pepatah Jawa "Nglindhungi awake dhewe" (melindungi diri sendiri) tampaknya mencerminkan sikap pemerintah yang lebih sibuk menjaga kepentingan sendiri ketimbang memenuhi kebutuhan rakyat. Gelombang protes ini bukan sekadar soal angka kenaikan, tetapi tentang runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap penguasa.
Secara hukum, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 memberi kewenangan pemerintah daerah menetapkan tarif PBB-P2. Namun, kewenangan itu harus dijalankan dengan mengedepankan asas keadilan, kepastian hukum, dan transparansi.
Fakta di lapangan menunjukkan keresahan meluas. Di Bone, Sulawesi Selatan, mahasiswa menolak kenaikan PBB-P2 yang mencapai 300 persen. Di Jombang, Jawa Timur, ribuan warga memprotes lonjakan hingga 1.202 persen, bahkan ada yang membayar pajak menggunakan koin recehan sebagai bentuk sindiran keras.
Kemarahan serupa meletup di Ambarawa, Jawa Tengah, menyusul kenaikan PBB sebesar 441 persen tanpa sosialisasi memadai, yang bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penetapan dan Pengenaan Tarif PBB.
Semangat perlawanan rakyat tercermin dalam pepatah Minahasa "Wo dotou o bae, wo dotou o koro-koro" (kita harus berani melawan ketidakadilan) dan pepatah Tiongkok "Shuǐ qīng bù jiàn yóu yú" (air yang terlalu jernih tidak akan terlihat ikannya) yang mengingatkan pentingnya kritik demi perbaikan.
Bahkan Kitab Mikha 6:8 dalam Alkitab menegaskan, "Berlakulah adil, cintai kesetiaan, dan hiduplah dengan rendah hati di hadapan Allahmu." Pesan moral ini seharusnya menjadi landasan setiap kebijakan publik.
Kepemimpinan yang mestinya menjadi teladan dan pelindung rakyat kini justru dinilai menjadi simbol ketidakadilan. Untuk memulihkan kepercayaan, pemerintah perlu membuka ruang dialog yang konstruktif, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pertanyaannya, akankah para pemimpin menyadari kesalahan mereka dan kembali pada nurani? Atau justru terus melaju di jalur keliru hingga rakyat benar-benar habis kesabarannya? Tanpa nurani, kekuasaan hanyalah mesin yang kehilangan arah.
Penulis: Kefas Hervin Devananda, SH., STh., M.Pd.K
Ketua Presidium FORMAKSI / LKBH PEWARNA INDONESIA
Redaksi: BahriNews.id