Bandung, BahriNews.id — Menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada 1 Juni 2025, sorotan tajam kembali mengarah pada seberapa dalam bangsa ini memahami dan menghidupi nilai-nilai yang terkandung dalam dasar negaranya sendiri. Dalam sebuah wawancara eksklusif yang berlangsung pada Jumat malam (30/05), Pdt. Abednego Mulianto Halim — rohaniawan yang akrab disapa Pak Mul — menyuarakan pesan kebangsaan yang menggugah nurani, tepat dari jantung Kota Bandung.
“Pancasila bukan sekadar slogan. Ia adalah fondasi, nafas, dan nadi dari bangsa ini. Siapa yang mengaku cinta tanah air, wajib menghidupinya dalam tindakan nyata, bukan hanya di bibir.” tegas Pak Mul melalui sambungan telepon kepada BahriNews.id.
Tak hanya menyampaikan pandangan teologis, Pak Mul mengaitkan nilai-nilai Pancasila dengan ajaran moral universal, termasuk dalam konteks iman Kristiani. Ia mengutip Injil Markus 9:35 sebagai bentuk peneguhan: “Siapa yang mau menjadi yang pertama, ia harus menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.”
“Ini relevan dengan semangat gotong royong dan kepemimpinan yang melayani, yang justru kini makin langka kita temui di antara para elite bangsa,” sindirnya halus, namun mengena.
Dalam refleksinya, Pak Mul menyoroti bahwa Hari Lahir Pancasila tak boleh hanya menjadi seremoni penuh simbol tanpa makna. Ia mendesak publik untuk merenungi dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya — keadilan sosial, persatuan, dan kemanusiaan.
“Bangsa ini sedang sakit, bukan karena kekurangan sumber daya, tapi karena kehilangan nilai. Jangan balas kejahatan dengan kejahatan — kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!” ujarnya lantang sambil mengutip Roma 12:16–21.
Tak berhenti di situ, Pak Mul juga menekankan sinergi antara agama dan Pancasila. Menurutnya, keduanya bukan untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling menguatkan dalam membentuk karakter bangsa yang tangguh, bermoral, dan cinta damai.
“Agama yang benar akan melahirkan warga negara yang baik. Dan Pancasila adalah rumah besar kita semua. Tak ada alasan untuk menjadikannya musuh.”
Di akhir wawancara, seruan keras kembali dilontarkan:
“Momentum Hari Lahir Pancasila harus menjadi lonceng pengingat, bahwa bangsa ini hanya akan besar jika rakyatnya kembali hidup dalam semangat persatuan, bukan perpecahan. Dalam kejujuran, bukan kemunafikan. Dalam pengorbanan, bukan kerakusan.”
| Redaksi BahriNews.id
Laporan: Tim Investigasi Nasional